Monday, April 30, 2012

Wisata Kuliner jeJAMURan Jogja



Kalau menikmati satai ayam atau pun satai kambing itu sudah biasa. Tapi kalau menikmati satai jamur? Hmm..ini baru berbeda! Beraneka ragam olahan jamur mulai dari satai jamur, sup jamur, jamur goreng yang renyah gurih bisa dinikmati di tempat ini. Penasaran?

Minggu lalu saya berkesempatan bertandang ke Jogja karena ada tugas kantor. Karena Jogja sudah cukup sering saya datangi saya selalu menyempatkan makan di tempat yang baru di Jogja. Berdasarkan hasil pencarian di internet saya menemukan resto yang terbilang baru. Yak, Jejamuran, sebuah resto yang menyajikan makanan berbahan dasar serba jamur.

Sempat bingung juga , bisa dibuat apa saja jamur tersebut. Pasti tidak jauh dari dibuat pepes dan campuran kuah untuk bistik pikir saya. Akhirnya setelah janjian dengan saudara yang memang tinggal di Jogja (tapi belum pernah juga ke Jejamuran) kami melangkahkan kaki ke resto itu.

Letaknya yang sedikit jauh mengharuskan saudara saya sering-sering bertelpon ke temannya untuk mencari lokasi. Arahnya hampir diluar pusat kota Jogja, dan agak 'nyempil'. Kebetulan kami tiba di resto tersebut sekitar pukul 8 malam lebih dan tentu saja perut sudah sangat keroncongan.

Saya sempat membaca beberapa review untuk menu spesialnya yaitu satai jamur dan jamur crispy. Tak perlu pikir-pikir lagi kami lantas memesan menu spesialnya itu serta menu tambahan lain seperti omelet jamur, sop jamur, jamur asam manis dan tongseng jamur.

Kami pesan sate jamur dengan porsi yang cukup banyak. Satu porsi sate jamur berisi sekitar 5-7 tusuk sate (saya lupa persisnya) yang disiram dengan saus kacang dan ditaburi potongan cabe merah. Rasa empuk dari jamur tersebut mengingatkan saya akan sate kulit ayam yang agak kenyal persis sekali hanya saja dibanding kulit ayam jelas ini non kolesterol.

Bumbu yang menyerap sempurna di sate tersebut sama sekali tidak menyisakan rasa jamur, sehingga kita tidak akan tahu kalau ini berasal dari jamur. Dibakar dengan kematangan yang cukup baik tanpa ada arang yang menempel pada masing-masing jamur di tusukannya. Sayangnya saking asyiknya saya makan saya lupa untuk tanya sate ini menggunakan jenis jamur yang mana.

Berikutnya saya coba jamur crispy, ini rasanya seperti produk makanan yang dulu pernah diorbitkan oleh salah satu restoran fastfood ayam yaitu skin fries. Garing dan empuk, bingung juga menerangkan bagaimana perpadauan antara garing dengan empuk karena bila garing biasanya keras karena cenderung terlalu kering. Namun tidak pada jamur crispy ini, memang adonan tepungnya cukup garing namun dibalik selimut kriukannya itu tersimpan jamur dengan ketebalan cukup dan rasa pas.

Makanan ini cocok untuk menu anak-anak yang cenderung suka gurih dan garing. Disajikan perporsi dalam piring oval yang agak kecil kemudian diberi satu sachet sambal saus dan bisa dimakan untuk 2 orang.

Makanan yang saya coba kemudian adalah sup jamur, berbahan dasar jamur merang, jamur kuping , bakso ikan dan campuran sayuran seperti wortel, buncis dan sawi putih. Rasanya memang seperti layaknya sop sayur bening dengan bumbu bawang putih, garam dan merica tanpa campuran bumbu lain. Namun karena di isi oleh beberapa jenis jamur, maka sup ini layak dicoba sebagai pembuka. Disajikan dalam mangkuk bakso sehingga porsinya lebih baik di makan untuk satu orang saja, tapi kalau mau berbagi juga bisa.

Nah menu selanjutnya saya coba namun hanya sedikit-sedikit karena pada saat saya coba itu tidak ada kekhususan pada rasanya. Saya coba tongseng jamur, kalau ini sih memang lebih baik tongseng daging sajalah. Koq sedikit aneh dengan kuah santan seperti kuah gule namun berisi jamur. Rasanya kurang pas untuk lidah saya.

Masih ada piring menu yang belum saya coba yaitu jamur asam manis. Menu ini sebenrnya sama saja dengan jamur crispy karena jamur digoreng dengan tepung berbumbu sampai dengan kering, kemudian disiram dengan saus asem manis. Saus yang berisi potongan paprika merah dan kuning serta beberapa potongan nanas , terasa pas dengan jamur crispy yang gurih. Meskipun sederhana, tapi menu ini sangat pas untuk teman nasi putih yang masih kemepul hangat.

Potongan jamur shitake yang diiris tipis kemudian dicampur dengan telur dan beberapa irisan daun bawang. Sebernarnya sih ini hampir mirip dengan dadar pada umumnya karena ketebalannya pun tidak lebih dari 1 cm saja. Untk soal rasa, cukuplah.
Namun dari semua yang saya makan memang tidak salah bila beberapa hasil review memberikan rekomendasi buat sate jamurnya dan saya acungi jempol khusus buat ide bahan dasar jamur ini. Walaupun saya bukan vegetarian , tapi menu di Jejamuran pas untuk mereka yang vegetarian.

Seporsi sate jamur cukup murah loh, cukup dengan merogoh kocek sebesar Rp 7.000,00 saja Anda sudah bisa menikmatinya. Sedangkan Sop jamur dan jamur asam manis hanya Rp 8.000,00, Rp 5.000,00 untuk jamur crispy dan Rp 15.000,00 untuk dadar shitake.

Jejamuran
Niron, Pandowohardjo, Sleman
Jogjakarta

Nama: Nurul Wrediningrum
Email: nwrediningrum[at]yahoo.com.sg

Sunday, April 29, 2012

Wisata Kuliner Gudeg Jogja


Berbicara tentang Jogja, tidak akan pernah lepas dari makanan manis berbahan dasar nangka muda ini. Bagi para pencinta gudeg, maka jalan Wijilan yang terletak di sebelah timur alun-alun utara pastilah akrab di telinga. Di sini berjejer sekitar 10 penjual gudeg kering dengan interior bersaing. Padahal dulu, sebelum menjadi sentra gudeg, hanya terdapat sekitar 5 penjual gudeg dengan interior sederhana.

Warung-warung gudeg yang bisa dibilang pelopor berjualan di daerah ini adalah gudeg Bu Slamet dan gudeg Yu Djum. Keduanya telah mulai membuka usaha gudeg sejak tahun 1946, hanya berjarak satu tahun dari proklamasi RI. Menurut ibu Suharto, putri ketiga pemilik warung makan gudeg Bu Slamet ini, pada umumnya usaha gudeg yang terdapat di kawasan Wijilan merupakan warisan turun temurun.

Bertahan dari tahun 1946 bukanlah hal yang mudah. Karenanya, tak heran bila saat ini warung-warung gudeg tersebut lebih terdengar dari warung gudeg lainnya. Beliau menyatakan bahwa sudah beberapa kali warung makannya dikunjungi oleh artis ibu kota, seperti Yana Julio dan tim Pemburu Hantu.

Menyimak Jalan Wijilan dewasa ini, suasana khas jogja tempo dulu masih lumayan terasa. Selain tetap tidak ada bangunan bertingkat, jalan utamanya pun belum mengalami pelebaran jalan. Namun, karena dijadikan sebagai salah satu kawasan kunjungan wisata, Wijilan sekarang nampak tersusun lebih rapi dan bersih demi kenyamanan para wisatawan. Yang juga berubah mungkin dari kuantitas penggunaan sepeda kayuh atau onthel sebagai sarana transportasi yang kini telah tergantikan dengan sepeda motor.

Memilih kawasan ini sebagai tempat untuk mengisi perut rasanya memang pilihan yang tepat. Selain berada di pusat kota Jogja, Jalan Wijilan juga tidak terlampau padat lalu lintasnya. Tidak banyak pengendara motor atau mobil yang memilih jalan ini sebagai jalur utama, mungkin karena jalan yang termasuk kecil. Karenanya para pengunjung bisa menikmati makanannya tanpa banyak menghirup polusi dari asap kendaraan bermotor. Bukan hanya untuk makan siang ataupun malam, para pengunjung juga bisa sarapan di kawasan ini. Warung-warung gudeg di Jalan Wijilan kebanyakan telah buuka mulai pukul enam pagi dan tutup pada pukul sembilan malam.

Menjelang musim liburan sekolah atau mendekati lebaran seperti saat ini Jalan Wijilan biasanya dipenuhi oleh pengunjung dari luar kota, baik untuk membeli oleh-oleh ataupun sekedar untuk santap siang. Berbeda dengan gudeg basah, gudeg kering mampu bertahan selama dua hari, oleh karena itu gudeg wijilan seringkali dijadikan alternatif bekal makan untuk berbagai perjalanan. Mengenai harga, gudeg Wijilan pun relatif terjangkau, tergantung wadah yang digunakan dan lauk pauk yang dikehendaki.

Untuk satu kardus kecil gudeg telor dapat diperoleh dengan harga Rp 5.000,- saja, sedangkan satu besek gudeg berkisar antara Rp 25.000,- hingga Rp 30.000,-, dan satu kendhil penuh gudeg dan lauk pauk, dapat diperoleh dengan harga mulai Rp 50.000,-.

Sebagai referensi, penulis menyarankan untuk memarkir mobil atau kendaraan pribadi lain di kawasan sekitar Malioboro, dan menggunakan transportasi daerah seperti becak atau andong untuk sampai di tujuan. Selain mengurangi polusi dan menghemat bensin, Anda pun tidak akan turut andil membuat jalan Wijilan yang sempit menjadi macet karena banyaknya pengunjung yang memarkir kendaraan pribadinya di sepanjang badan jalan. Keuntungan lain, Anda akan merasakan santainya Jogja yang tidak mungkin bisa didapatkan di tempat lain.

trulyjogjadotcom

Saturday, April 28, 2012

Wisata Museum Wayang Kekayon



Museum Wayang Kekayon adalah museum mengenai wayang yang ada di kota Yogyakarta, tepatnya di Jl. Raya Yogya-Wonosari Km. 7, kurang lebih 1 km dari Ring Road Timur. Museum yang didirikan pada tahun 1990 ini memiliki koleksi berbagai wayang dan topeng serta menampilkan sejarah wayang yang diperkenalkan mulai dari abad ke-6 sampai abad ke-20. Wayang-wayang di dalam museum ini terbuat baik dari kulit, kayu, kain, maupun kertas.

Sama halnya dengan museum Wayang di Jakarta, museum ini mempunyai beberapa jenis wayang, seperti: wayang Purwa, wayang Madya (menceritakan era pasca perang Baratayuda), wayang Thengul, wayang Klithik (mengisahkan Damarwulan dan Minakjinggo), wayang beber, wayang Gedhog (cerita Dewi Candrakirana), wayang Suluh (mengenai sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia), dan lain lain. Berkaitan dengan wayang Purwa, museum ini memiliki beberapa poster yang menggambarkan strategi perang yang dipakai dalam perang Baratayuda antara keluarga Pandawa dan Kurawa, yaitu: strategi Sapit Urang dan strategi Gajah

Museum Wayang Kekayon
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Museum Kekayon

Thursday, April 26, 2012

Wisata Pasar Seni Gabusan

Pasar Seni Gabusan terletak di Jl. Parangtritis KM 9,5 Timbulharjo, Sewon, Bantul
sekitar 4 km arah selatan kota Yogyakarta atau sekitar 10 menit bila ditempuh menggunakan kendaraan.

Sejak awal dibangun, Gabusan dirancang untuk membuka akses pengrajin ke pasar internasional. Karenanya, tak seperti pasar lain, desain pasar dengan luas area 4,5 ha. mampu menampung sekitar 444 pengrajin yang ditata dengan konsep ruang pamer bertaraf internasional. Perancangan bangunan pasar ini tak hanya melibatkan arsitek dalam negeri saja, tetapi juga mancanegara, tentu dengan menonjolkan arsitektur lokal. Terbagi dalam 16 los, Gabusan menjual kerajinan dari ragam bahan dasar, mulai dari kulit, logam, kayu, tanah liat hingga eceng gondok. dan di kawasan ini dilengkapi Pusat Informasi dan akses internet gratis.

Fasilitas

Area Parkir
Tempat parkir luas
Mushola
Mushola
Lavatory
Lavatory yang representatif
Futsal 
Arena bermain Futsal pasir

Pembagian Los Pasar Seni Gabusan

Los 1, Los 2, dan Los 3

los-1-a los-1-b los-1-c
Memasuki los pertama hingga los ketiga, anda dapat menikmati kerajinan berbahan dasar kulit. Dari Kulit Lembu, domba, sampai kuit ikan pari. Produk yang ada mulai dari hiasan wayang kulit, souvenir, sekat buku kulit, tas, dompet, Kaligrafi dan di areal ini juga terdapat produk kulit tatah sungging dan sudah tentu masih banyak produk lainnya, selain itu produk yang di display merupakan produk unggulan dari para pengrajin kulit di Bantul.

Los 4 dan Los 5

los-4-a los-4-b los-4-c
Bila hendak berbelanja kain batik dan baju batik anda dapat mengunjungi los empat dan lima. Bahan dasar batik saat ini sangat digemari karena desain-desain tradisional dipadu dengan desain modern semakin menambah indahnya produk batik. Selain kemeja dan kain batik masih ada sprei, bad cover, dll.

Los 6 dan Los 7

los-6-a los-6-b los-6-c
Bahan dasar kayu sebagai furniture dan craft terpajang di los enam dan tujuh. Furniture minimalis yang sangat memikat dapat anda peroleh dengan harga yang terjangkau. sedangkan untuk hiasan dapat di piliH hiasan kayu dengan ukiran primitif. InovasI dan kreasi craft berbahan dasar kayu sangat variatif jika diperlukan dapat juga memesan dengan desain dan keinginan pembeli.

Los 8 dan Los 9

los-8-a los-8-b los-8-c
Los delapan dan sembilan memiliki produk-produk aneka kerajinan dari yang sederhana hingga yang rumit. Tempat lipstick, tempat tissue, tempat lilin, dan beraneka ragam souvenir.

Los 10 dan Los 11

los-10-a los-10-b los-10-c
Los ini menampilkan kerajinan kayu batik. Topeng, patung, dan aksesoris yang menarik tersaji dengan pilihan yang sangat variatif.

Los 12

los-12-a los-12-b los-12-c
Kerajinan Bambu terpusat di Los 12, karya yang sangat fungsional dan dekoratif untuk rumah tangga ada di Los ini. Karya pengrajin bambu telah dikenal sampai ke negeri seberang karna estitika dan artistiknya produk-produk yang tercipta.

Los 13

los-13-a los-13-b los-13-c
Salah satu produk unggulan Bantul yaitu kerajinan terracota dan keramik serta gerabah ada pada Los 13. Karya ini sering terpajang dibeberapa building terkenal dan di beberapa hotel berbintang di Indonesia maupun di mancanegara.

Los 15

los-15-a los-15-b los-15-c
Karya Lukisan hasil para seniman Bantul tertata di Los 15, karya lukis Naturalis, ekspresif, sampai abstrak ada di sini. Karya-karya ini banyak diminati para turis baik domestik maupun mancanegara. Dan banyak seniman yang telah terjun pada pameran dan gelar karya lukis hingga manca Negara.

Los 16

los-16-a los-16-b los-16-c
Kerajinan Logam antara lain monel, perak yang sangat elegan, kuningan, dan tembaga. Jenis Produk yang dihasilkan antara souvenir, perhiasan (anting, suweng, cincin, dll) dan miniature (bendi, becak, tugu, candi borobudur, candi prambanan, dll).

bantulcraftdotcom


Wednesday, April 25, 2012

Wisata Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY)


Pintu masuk PASTY

Kicauan burung-burung menyambut kami ketika mengunjungi Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY) yang terletak di Jl. Bantul, Dongkelan Yogyakarta ini. Pedagang di tempat ini merupakan hasil relokasi dari Pasar Ngasem yang katanya dulu kondisinya kumuh, becek dan gelap. Kondisi itu sekarang terlihat jauh berbeda dimana suasananya nyaman dan bersih. Kios-kios tertata rapi sesuai kategori jualannya. Berbagai jenis burung dah hewan-hewan piaraan dapat kita temui disini, seperti burung nuri hingga burung hantu, ada pula ular, kelelawar, kura-kura hingga anjing-anjing lucu yang ingin saya bawa pulang. Khusus kios tanaman hias terdapat diseberang jalan. Beraneka tanaman hias terdapat disini, tinggal pilih yang Anda sukai.
Berbagai macam fasilitas bagi pengunjung sudah disiapkan di tempat ini oleh pengelola, mulai dari toilet, mushala, hingga tempat bermain anak-anak. Sehingga cocok sekali dijadikan arena rekreasi seluruh keluarga.
Tidak dikenakan tiket masuk bagi pengunjung, Anda hanya perlu membayar parkir saja. Jadi tunggu apalagi, bila berwisata ke Yogyakarta jangan lewatkan tempat menarik ini.

(Words : @NicoBorneo, Photos : @dds722)

detik travel dotcom

Tuesday, April 24, 2012

Wisata Museum Affandi Jogja


Museum Affandi terletak di Jalan Laksda Adisucipto 167, yaitu jalan utama yang menghubungkan kota Yogyakarta dan Solo, di tepi barat Sungai Gajahwong. Letaknya sangat strategis sebagai salah satu kompleks museum seni lukis di Yogyakarta. Kompleks museum menempati tanah seluas 3.500 meter persegi terdiri atas bangunan museum beserta bangunan pelengkap, dan bangunan rumah tempat tinggal pelukis Affandi dan keluarganya. Lahan yang berteras tidak menghambat Affandi dalam menciptakan tata letak bangunan beserta lingkungannya. Pembangunan kompleks museum ini dilakukan secara bertahap dan dirancang sendiri oleh Affandi.

GALERI I
Pada tahun 1962 Affandi selesai membangun Galeri I dengan luas bangunan 314,6 meter persegi sebagai ruang pameran bagi sejumlah hasil karya lukisnya. Bangunan Galeri I ini kemudian diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Prof.Ida Bagus Mantra, pada tahun 1974.

Pada Galeri I dapat disaksikan hasil karya Affandi yang berupa lukisan dari tahun-tahun awal hingga tahun terakhir semasa hidupnya. Lukisan tersebut terdiri atas sketsa-sketsa di atas kertas, lukisan cat air, pastel, serta cat minyak di atas kanvas.

Hasil karya dua buah patung potret diri yang terbuat dari tanah liat dan semen, serta sebuah reproduksi patung karyanya berupa potret diri bersama putrinya, Kartika, yang aslinya menjadi koleksi Taman Siswa Jakarta.

Sebuah mobil Colt Gallant tahun 1976 adalah mobil kesayangan semasa hidupnya yang telah dimodifikasi sehingga menyerupai bentuk ikan yang terpajang di dalam ruangan ini pula. Selain itu terdapat sepedanya dan sejumlah reproduksi di atas kanvas dan kertas.

GALERI II
Pada tahun 1987, Presiden Soeharto memberikan bantuan berupa pendirian sebuah bangunan Galeri II, yang menempati areal tanah seluas 351,5 meter persegi. Bangunan Galeri II ini kemudian diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Fuad Hassan, pada tanggal 9 Juni 1988.

GALERI III
Galeri III didirikan pada tahun 1997 dan diresmikan oleh Sri Sultan HB X pada tanggal 26 Mei 2000 dan dibangun atas ide dasar yang sama dengan bangunan lainnya antara kompleks museum yang menggunakan bentuk garis melengkung dengan atap yang membentuk pelepah daun pisang.

Galeri III mempunyai tiga lantai bangunan, lantai I digunakan untuk ruang pameran, lantai II untuk ruang perawatan/perbaikan lukisan, dan ruang bawah tanah sebagai ruang penyimpanan lukisan.

Di dalam Galeri III dipajang karya keluarga Affandi, sulaman Maryati, lukisan Kartika dan Rukmini.

Sebagai bagian dari kompleks Museum Affandi, rumah tinggal Affandi dan keluarganya berbentuk rumah panggung dengan konstruksi tiang penyangga utama dari beton dan tiang-tiang kayu, dan atap dari bahan sirap yang membentuk sebuah pelepah daun pisang. Bangunan yang ada di kompleks museum ini seluruhnya spiral lengkung dan bagian atap membentuk pelepah daun pisang. Bagian atas rumah panggung merupakan kamar pribadi Affandi, sedangkan bagian bawah digunakan sebagai ruang duduk tamu serta garasi mobil.

GEROBAK
Sebuah gerobak telah dimodifikasi menjadi sebuah kamar, lengkap dengan dapur dan kamar kecilnya, dibangun Affandi atas permintaan Maryati, istrinya sebagai tempat istirahat di siang hari dan tempat meyulam karya-karyanya. Bentuk gerobak menjadi ide pilihan Affandi, ketika semula Maryati menginginkan ‘karavan’ (yang banyak digunakan masyarakat Amerika sebagai sarana tempat tinggal yang mudah berpindah tempat).

Bangunan lain yang terdapat di kompleks Museum Affandi ini merupakan bangunan pelengkap, yang dahulu difungsikan Affandi sebagai bangunan keluarga, yang direncanakan sebagai ruang untuk konservasi lukisan, guesthouse, dan lain sebagainya. Kolam renang keluarga tempat berkumpulnya Affandi beserta anak cucu pada saat tertentu.

Sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir, Affandi wafat pada tanggal 23 Mei 1990 dan telah memilih tempat pemakamannya di antara dua bangunan Galeri I dan Galeri II, berdampingan dengan istrina Maryati, dikelilingi lukisan hasil karyanya, serta rimbunan tanaman dan mawar di sekitarnya.


STUDIO SORRANDU
Studio Sorrandu adalah sebagai tempat ruang pamer dan sanggar kreatif seni ‘Gajah Wong’ dimana anak-anak maupun dewasa dapat belajar mengembangkan inovasi, kreativitas, dan bakatnya di bidang seni rupa.

Sumber: ‘Biography dan Museum Affandi’ (Penerbit Museum Affandi. Cetakan ke-2, Tahun 2008)


Alamat:
MUSEUM AFFANDI
Jl. Laksda Adisucipto 167
Yogyakarta 55281

museumindonesiadotcom

Monday, April 23, 2012

Wisata Museum Sonobudoyo Jogja



Museum Sonobudoyo adalah museum sejarah dan kebudayaan Jawa, termasuk bangunan arsitektur klasik Jawa. Museum ini menyimpan koleksi mengenai budaya dan sejarah Jawa yang dianggap paling lengkap setelah Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Selain keramik pada zaman Neolitik dan patung perunggu dari abad ke-8, museum ini juga menyimpan beberapa macam bentuk wayang kulit, berbagai senjata kuno (termasuk keris), dan topeng Jawa.

Museum Sonobudoyo terdiri dari dua unit. Museum Sonobudoyo Unit I terletak di Jl. Trikora No. 6 Yogyakarta, sedangkan Unit II terdapat di nDalem Condrokiranan, Wijilan, di sebelah timur Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.

Museum yang terletak di bagian utara Alun-alon Lor dari kraton Yogyakarta itu pada malam hari juga menampilkan pertunjukkan wayang kulit dalam bentuk penampilan aslinya (dengan menggunakan bahasa Jawa diiringi dengan musik gamelan Jawa). Pertunjukan wayang kulit ini disajikan secara ringkas dari jam 8:00-10:00 malam pada hari kerja untuk para turis asing maupun turis domestik.


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sunday, April 22, 2012

Wisata Perak Kotagede

Kota Gede adalah kota di Jogja yang dikenal dengan kota perak, mungkin Anda juga pernah mendengarnya. Dahulu Kota Gede merupakan ibukota kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Pemanahan pada abad ke-16. Sampai sekarang sebagian sisa-sisa bangunan kerajaan Mataram masih terlihat seperti gerbang, rumah joglo, dan makam. Masyarakat di Kota Gede pada saat itu memiliki keahlian membuat perkakas dari perak dan ini berlanjut hingga saat ini. Namun dahulu hanya orang yang memiliki modal besar saja yang bisa membuka showroom. Dan sekarang kerajinan perak sudah berkembang, ini ditunjukkan dengan banyaknya toko-toko perak yang memamerkan hasil kerajinannya dengan berbagai variasi bentuk dan harga. Para pengrajin perak ini membuka tokonya di jalan Kemasan hingga jalan Tegal gendu. Bahkan kini hasil kerajinan perak Kota Gede telah sampai ke manca negara.

Bagi para penggemar atau kolektor perak, Kota Gede yang terletak di sebelah tenggara kota Yogjakarta ini merupakan salah satu tempat favorit mereka untuk berburu perak. Di sini mereka bisa melihat berbagai macam kreasi hasil kerajinan perak yang semakin bertambah banyak. Mulai dari aksesoris yang biasanya ini diburu oleh para wanita misalnya cincin, gelang, kalung, anting-anting, bros, sabuk, dan lain-lain. Biasanya bentuk dari aksesoris pun mengikuti perkembangan dan tren yang ada. Selain itu ada juga miniatur berbagai macam alat transportasi seperti sepeda, motor, mobil, andong, kereta, pesawat, kapal, dan sebagainya. Bahkan pelanggan bisa memesan bentuk sesuai dengan keinginannya. Dan pada masa liburan, para wisatawan yang berlibur ke DIY biasanya menjadikan Kota Gede sebagai salah satu tujuan wisatanya.

Harga perak yang ditawarkan bervariasi mulai dari Rp. 10.000,00 sampai jutaan rupiah., ini disesuaikan dengan banyaknya bahan perak yang digunakan serta tingkat kesulitan pembuatan. Untuk mendapatkan harga perak murah pelanggan mengetahui dulu harga pasaran perak, caranya adalah dengan survei di beberapa toko. Apalagi bagi pelanggan yang belum pengalaman. Hasil kerajinan perak di Kota Gede dikenal halus serta bentuknya bagus, sehingga ada sebagian yang mengusulkan untuk mematenkan hasil kerajinan ini.

pulau.org

Friday, April 20, 2012

Desa Wisata Manding Jogja (Kerajinan Kulit)

Begitu orang menyebut Manding Bantul, yang terlintas di benak adalah sentra kerajinan kulit, yang pernah berjaya pada dekade 1970 – 1980an. ”Sekarang juga masih sebagai sentra kerajinan kulit, tapi sudah dikembangkan oleh para pengrajinnya dengan tambahan bahan baku lain. Itu wajar, karena permintaan pasar memang demikian,”tutur Lurah Sabdodadi, Binarjono. Sarjimin, pengrajin yang juga sebagai Ketua Kelompok Pengusaha Sabdodadi menambahkan, bahan baku yang banyak dipadukan dengan bahan kulit adalah serat alami seperti pandan, mendong, enceng gondok, agel dan lidi. Di Manding ada sekitar 25 pengrajin yang masih menekuni kerajinan kulit dan ada yang mengembangkannya dengan bahan serat alami.

Sementara, Agus Sutejo, perangkat desa Sabdodadi yang berperan sebagai mediator pengrajin dengan kalangan luas merasakan muncul berbagai kendala yang dialami pengrajin, terutama di saat memperoleh order. “Order lumayan banyak. Tapi, belakangan ini, pemesan banyak yang tidak memberikan uang muka. Jadinya, sebagian besar pengrajin banyak yang tidak mampu memenuhi volume pesanan.

Pendapat Agus dibenarkan Sarjimin, pemilik Sanggar Sada Sari Handicraft. Sebelum lebaran, ada order senilai Rp 125 juta, dengan batas akhir pengerjaan atau deadline tiga bulan. “Waktunya cukup longgar, tapi karena dana yang ada sudah dialokasikan ke garapan lain, jadinya saya hanya berani mengambil Rp 14 juta saja. Dari 950 set kerajinan yang dipesan, hanya saya sanggupi 100 set saja.

Lurah Sabdodadi, Binarjono terus berupaya mengolah kiat guna mencarikan solusi dalam hal kesulitan permodalan pengrajin. Pak Lurah berharap, Dekranasda Bantul berkenan memberikan jaminan bila pengrajin membutuhkan sebrakan modal. Mungkin bisa ditempuh dengan pola rekening koran. Konkritnya, pengrajin hanya dibebani bunga bank berdasar besarnya uang yang dipinjam dari bank. Lantas jaminannya? Berdasar pengalaman Sarjimin, pemesan selalu membayar sesuai dengan PO (pesanan order) yang diberikan, meskipun pelunasannya sampai 3 bulan. “PO cukup kuat, karena didalamnya termuat berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengrajin.” Sebagai contoh, produk Sarjimin ada yang pernah ditolak sebagian karena tidak sesuai PO. Produk dikembalikan dan pemesan memotong Rp 20 juta.

Sentra kerajinan kulit Manding sangat strategis, berlokasi di jalur wisata Yogya – Parangtritis km. 11,5. Di sekitar perempatan jalan desa Manding terdapat puluhan showroom produk kulit, seperti: tas, sepatu, jaket dan cinderamata kecil-kecil lainnya. Hanya saja, bagi wisatawan yang belum pernah lewat Manding memang tidak cepat mengenal sentra itu, karena belum ada gapura sebagai ciri khas sentra Manding. Baik Lurah Sabdodadi, Sarjimin maupun Agus Sutejo yakni Pem Kab Bantul akan segera mewujudkan pembangunan gapura Manding, mengingat Bupati Drs HM Idham Samawi sangat peduli terhadap pengembangan potensi masyarakat Bantul yang ditopang sektor pertanian dan kerajinan rakyat.


bantulbiz.com

Thursday, April 19, 2012

Wisata Monumen Jogja Kembali

Monumen Yogya Kembali dibangun pada tanggal 29 Juni 1985, dengan Upacara Tradisional penanaman kepala kerbau dan peletakan batu pertama oleh Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII.
Dipilihnya nama Yogya Kembali dengan pengertian yang luas, berfungsinya pemerintah Republik Indonesia dan sebagai tetenger peristiwa sejarah ditarik mundurnya tentara Belanda dari Ibukota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 dan kembalinya Presiden Soekarno, Wakil Presiden, Pimpinan Negara yang lain pada tanggal 6 Juli 1949 di Yogyakarta. Hal ini dapat dipergunakan sebagai titik awal bangsa Indonesia secara nyata, bebas dari cengkeraman penjajah khususnya Belanda dan merupakan tonggak sejarah yang menentukan bagi kelangsungan hidup Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Dilihat dari bentuknya Monumen Yogya Kembali berbentuk kerucut/gunungan dengan ketinggian 31,80 meter adalah sebagai gambaran “Gunung Kecil” ditempatkan di sebuah lereng Gunung Merapi. Gunung Merapi ini sangat berarti bagi masyarakat Yogyakarta baik secara simbolik maupun faktual. Muntahan lava Gunung Merapi memberikan kesuburan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, sementara itu konturnya di langit selalu menghias cakrawala Yogyakarta dimanapun orang berada, dari Gunung Merapi pula sungai Winongo dan Code yang mengalir melalui kota Yogyakarta.
Secara simbolik bersama laut selatan (Istana Ratu Kidul) yang berfungsi sebagai “Yoni” dan gunung Merapi sebagai “Lingga” merupakan suatu kepercayaan yang sangat tua dan berlaku sepanjang masa. Bahkan sementara orang menyebut Monumen Yogya Kembali sebagai tumpeng raksasa bertutup warna putih mengkilat, dalam tradisi Jawa tumpeng seolah-olah sebagai bentuk gunung yang dapat dihubungkan dengan kakayon atau gunungan dalam wayang kulit, yang melambangkan kebahagiaan/kekayaan kesucian dan sebagai penutup setiap episode perjuangan bangsa.

Monumen Yogya Kembali terletak di Jalan Lingkar Utara, dusun Jongkang, desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, kabupaten Sleman, Yogyakarta. Didirikan di atas lahan seluas 49.920 m². lokasi ini ditetapkan oleh Hamengkubuwono IX dengan alternatif diantaranya terletak digaris poros antara gunung Merapi - Monumen Yogya Kembali - Tugu Pal Putih - Kraton - Panggung Krapyak - Laut Selatan, yang merupakan “Sumbu Imajiner” yang pada kenyataannya sampai sekarang masih dihormati oleh masyarakat Yogyakarta, dan menurut kepercayaan bersatunya Lingga dan Yoni akan menimbulkan kemakmuran di tempat ini sebagai batas akhir ditariknya mundur tentara Belanda ke arah utara, usaha kesinambungan tata kota kegiatan dan keserasian Daerah Yogyakarta.

Tuesday, April 17, 2012

Yogyakarta - KLa Project

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja


Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati
Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi (untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Tak kembali…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi) Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi) Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…

Monday, April 16, 2012

Desa Wisata Gendeng Jogja (Kerajinan Wayang Kulit)



Desa Gendeng (huruf “e” dibaca seperti tulisan “semen”) terletak di Kalurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
 
Sejarah kerajinan wayang kulit Gendeng disinyalir berawal sekira pada 1926. Saat itu seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta bernama M.B. Perwitowiguno (Pak Bundhu), ia juga ahli membuat wayang kulit. Pak Bundhu tidak tinggal lama, ia pindah ke kota beserta muridnya, Pudjowinoto. Pada 1942, Pudjowinoto kembali ke Gendeng, menetap, kemudian menjadi perajin dan dalang. Keahliannya disebarluaskan, semula terbatas kepada sanak saudara dan warga sekitar.

Di masa jayanya, Gendeng sempat menjadi barometer kualitas wayang kulit gaya Yogyakarta. Produknya dikenal halus dan estetis. Dusun ini pernah mendapat penghargaan Upakarti dari pemerintah pada 1990. Antara 1976 hingga 1995 jumlah perajin tatah sungging desa melonjak drastis. Dusun ini pun menjadi tujuan wisata, banyak turis mancanegara berkunjung dan memborong wayang kulit.

Isu terorisme merebak pada 2002 di Indonesia, Gendeng pun terkena imbas. Sejak itu, turis jarang berkunjung. Rata-rata tiap sanggar hanya memproduksi 30 wayang setiap bulan, sebagian berdasarkan pesanan. Produktivitas jauh menurun dibanding era 1980-an, saat itu ratusan wayang dibuat tiap bulannya. Alhasil banyak perajin gulung tikar. Hal tersebut tidak adanya minat generasi muda terhadap budaya tradisional.

Kini perajin di dusun Gendeng mulai aktif kembali, sekira 40 perajin dan sepuluh sanggar intens berproduksi. Para perajin juga membuka showroom untuk menjual souvenir. Meskipun begitu, proses pembuatan wayang tradisional masih dipertahankan, mulai dari pola, penatahan, hingga pewarnaan.

Sumber:
Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2000
http://cessee.com

Friday, April 13, 2012

Desa Wisata Banyusumurup (Pengrajin Keris) Jogja

Suasana sejuk pedesaan akan segera menyapa setelah Anda sampai pada wilayah ini. Meski telah berkembang sebagai desa kerajinan, suasana desa ini masih seperti desa pada umumnya, tak banyak papan penunjuk seperti halnya di desa lain. Wilayah ini dapat dijangkau dengan berjalan lurus ke selatan dari perempatan terminal Giwangan dan kemudian mengambil lajur kanan menuju makam Imogiri.
Desa Banyusumurup adalah lokasi tempat dimana Anda dapat menikmati proses pembuatan beragam aksesoris keris. Mulai dari pembuatan warangka atau sarung keris, sampai pendok atau bagian tangkai keris yang berfungsi sebagai pegangan dapat Anda saksikan di desa ini.  Daerah yang sejak  tahun 1950-an berkembang menjadi sentra kerajinan aksesoris keris ini, dapat dijadikan salah satu referensi berwisata jika berlibur ke Yogyakarta.
Jika Anda bandingkan dengan desa-desa lain di daerah Yogya, para pengrajin aksesoris keris Banyusumurup selalu memproduksi aksesoris yang baru setiap harinya. Hal inilah yang membedakan dengan para pengrajin aksesoris keris di desa-desa lainnya yang hanya bergantung pada pesanan. Di desa ini para perajin dalam memproduksi aksesoris keris, masih dalam skala rumahan belum berkembang menjadi sanggar atau merk khusus aksesoris keris.
Proses pembuatan warangka keris di desa ini masih menggunakan alat-alat sederhana, berupa palu, paku tatah, dan alas yang terbuat dari bahan aspal. Dalam proses pengerjaannya dapat dikatakan lebih sederhana dari membuat hiasan keris, sebab tak perlu melebur bahan terlebih dahulu. Kemudian jika Anda melanjutkan perjalanan ke rumah-rumah produksi lain, juga dapat melihat proses pembuatan pendok (gagang keris). Umumnya pendok ini dibuat dengan dua bentuk, yaitu dengan gaya Solo yang lebih besar dan lengkung serta gaya khas Yogya sendiri yang agak kecil.

Neraca.co.id

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik.

Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan. Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.

Makna Filosofi Keris

Dengan melihat begitu banyaknya ilmu tentang keris serta perdebatan didalamnya, alangkah lebih sarat makna bagi kita dalam diri pribadi masing-masing untuk selalu berupaya mempelajari makna sejarah, budaya dan filosofi keris dengan tanpa memandang apakah keris tersebut sudah aus, geripis ataukah masih utuh. Toh jika kita lihat, Kanjeng Kyai Kopek, pusaka kraton Jogjakarta yang dulunya dipesan Sunan Kalijaga kepada mPu Supo, pada bagian wadidhangnya sudah lubang dan tetap disimpan sebagai salah satu Keris Pusaka andalan Keraton Jogja karena memiliki muatan sejarah dan filosofi yang dalam dibandingkan sekedar bentuk atau wujud fisiknya.
Dengan demikian, kebanggan atas sebilah keris tua yang masih utuh bagi saya hanyalah kesenangan semu yang hampa jika tidak diikuti dengan pemahaman terhadap sejarah dan filosofi keris.  “Pamor keris boleh rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka keris bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan filosofi sebilah keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan akan kita turunkan pada generasi selanjutnya”. Oleh karena itu, pemahaman terhadap sejarah dan kebudayaan masyarakat jaman dahulu sangatlah memegang peranan penting dalam memahami tentang budaya perkerisan.

Katakanlah mengapa konon Sultan Agung Hanyokrokusumo ketika awal masa pemerintahannya sering memesan keris Luk 3 dapur Jangkung kepada Ki Nom ? Mengapa keris Luk 13 banyak dipesan ketika seorang Raja sudah lama memerintah dan hendak lengser keprabon ? Mengapa keris tangguh Pengging yang paling tinggi maknanya adalah yang ber Luk 9 ? Mengapa keris luk 1 dapur Pinarak selalu mengingatkan bahwa kehidupan kita di dunia ini sesungguhnya hanya sementara untuk mampir duduk (pinarak) ? Kesemua itu ternyata menunjukkan bahwa sesungguhnya keris memiliki makna yang lebih dalam dan sangat kaya daripada sekedar masalah pamor, dapur dan tangguh serta keutuhannya yang sampai sekarang masih terus menjadi perdebatan. Tentunya dengan tidak mengesampingkan ilmu atas fisik keris seperti dapur, pamor maupun tangguhnya.
Dengan menempatkan keris sebagai benda yang memiliki makna filosofi mendalam, maka kita sebenarnya telah berusaha memahami apa keinginan sang mPu dan orang yang memesannya dahulu ketika membabar keris tersebut. Karena tentunya para mPu dan orang yang memesannya tersebut sebenarnyna juga memiliki harapan-harapan yang tentunya bermaksud baik. Dengan memahami makna filosofi dari sebuah keris tersebut, maka sudah pasti kita turut “Nguri-uri”, melestarikan budaya keris karena salah satu makna keris tersebut adalah sebagai simbol dari adanya suatu harapan dan doa. Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau Badik di Sulawesi.

Bagian-bagian keris

Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu wrangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris.
* Pegangan keris
Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari, pertapa, hutan, dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia. Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking (kepala bagian belakang), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan), weteng dan bungkul.

* Wrangka atau Rangka
Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum. Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati, cendana, timoho, kemuning, dll), kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya). Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading. Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring.
Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong dan gandek. Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang (sepanjang wilah keris) yang disebut gandar atau antupan, maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu (dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran).
Karena fungsi ganda untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok (lapisan selongsong) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa (campuran tembaga emas), perak, emas. Untuk daerah diluar Jawa (kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian. Untuk keris Jawa, menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

* Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola, pinarak, jamang murub, bungkul, kebo tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut, dungkul, kelap lintah dan sebit rontal.
Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.

Makna dan Filosofi Keris Dalam Budaya Jawa

Keris dalam masyarakat Jawa, sekarang digunakan untuk pelengkap busana Jawa, keris sendiri memiliki banyak filosofi yang masih erat dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat Jawa. Makna filosofis yang terkandung dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan perkembangan jaman, keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan aji, merupakan penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti dihormati, jadi keris merupakan perwujudan yang berupa besi dan diyakini bahwa kandungannya mempunyai makna yang harus dihormati, bukan berarti harus disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi.
Bila kita merunut dari pembuatnya atau yang disebut empu, ini mempunyai sejarah dan proses panjang dalam membuat atau menciptakan suatu karya yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. Empu menciptakan keris bukan untuk membunuh tetapi mempunyai tujuan lain yakni sebagai piyandel atau pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa percaya diri, ini dapat dilihat dari proses pembuatannya pada zaman dahulu. Membuat keris adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan sebuah keuletan, ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat harus meminta petunjuk dari Tuhan melalui laku / berpuasa, tapa / bersemadi dan sesaji untuk mendapatkan bahan baku.
Posisi keris sebagai pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari proses menyimpan, membuka dari sarung sampai dengan merawatnya, hal ini sudah merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yang masih meyakini. Kekuatan spiritual didalam keris diyakini dapat menimbulkan satu perbawa atau sugesti kepada pemiliknya. Menilik Pada masa kerajaan Majapahit, keris terbagi menjadi 2 kerangka yang saat ini masih menjadi satu acuan si empu atau pembuat keris, yakni rangka Gayaman dan rangka Ladrang/Branggah. Saat ini rangka Gayaman banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Yogjakarta dan rangka Ladrang banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Surakarta.
Nilai atau makna filosofis sebuah keris bisa pula dilihat dari bentuk atau model keris, atau yang disebut dengan istilah dapur. Selain dari dapurnya, makna-makna filosofi keris juga tecermin dari pamor atau motif dari keris itu sendiri. Keris bukan lagi sebagai senjata, namun masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya sebagai ageman atau hanya dipakai sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai spiritual religius, dan sebagai bukti manusia yang lahir, hidup dan kembali bersatu kepada Tuhan sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.

Keris Sebagai Piyandel, Sebuah Tuntunan Hidup
Piyandel adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan yang termanifestasikan dalam wujud berbagai benda-benda pusaka yang mengemuka secara fenomenal, penuh daya pikat dan sarat lambang yang harus didalami dan dimengerti dengan baik, benar dan mendalam. Kepercayaan bukan berisi tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang berwujud (wadag) yang berisi doa, harapan dan tuntunan hidup (filosofi hidup) manusia jawa yang termaktub dalam “sangkan parang dumadi – sangkan paraning pambudi – manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling ini terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut keris atau tombak.
Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan. Jadi tergantung kepada “kadhewasaning Jiwa Jawi” – kedewasaan orang dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya pengalaman rohani – semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di dalam sebilah keris.
Pada mulanya, di saat manusia jawa ada pada peradaban berburu, keris adalah alat berburu (baca: mencari hidup). Kemudian ketika manusia mulai menetap dan bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi alat untuk berperang (baca : mempertahankan hidup). Lebih lanjut lagi setelah tidak lagi diperlukan perang dan manusia mulai berbudaya, keris pun menjadi senjata kehidupan (baca: tuntunan hidup). Yaitu senjata untuk mengasah diri menjadi orang yang lebih beradab dan berperiperadaban hingga mencapai penyatuan diri dengan Penciptanya. Hal ini sangat nyata ditunjukkan dalam lambang-lambang yang mengemukan pada ricikan-ricikan keris.
Ilmu keris adalah ilmu lambang. Mengerti dan memahami bahasa lambang mengandalkan peradaban rasa (sense) – bukan melulu kemampuan intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang. Dan bagi orang jawa, hidup ini penuh pralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat maupun dalam berbagai aktivitas sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk makanan (tumpeng, jenang, jajan pasar, dsb), baju beskap, surjan, bentuk bangunan (joglo, limas an, dsb) termasuk juga keris. Di dalam benda-benda sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali bersatu dengan Sang Pencipta.
Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah pemahaman “Bapa (wong tuwa) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur”. Jika orang tua berlaku tirakat maka hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri dan anak-anaknya melainkan hingga semua keturunannya. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup prihatin, hidup “eling lan waspada”, hidup penuh laku dan berharap. Siratan-siratan laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus tuntunan itu diwujudkan oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata.
Senjata bukan dilihat sebagai melulu wadag senjata (tosan aji) melainkan dengan pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah hidup batin. Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan Piyandel – sipat kandel, karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji kebesaran Tuhan.  “Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama”.  Tekadku menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas (positive thinking), berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya, sembari menjalankan laku keutamaan.
Meski demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para leluhur tentang hal ini berbunyi : “Janjine dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang pinuji”. Janji bukan jimat melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. “Nora kepengin misuwur karana peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur”. Tidak ingin terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu keris bukan jimat, tetapi lebih sebagai piyandel sebagai sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi
Begawan Prabu

Thursday, April 12, 2012

Desa Wisata Kasongan



Kasongan adalah nama daerah tujuan wisata di wilayah kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal dengan hasil kerajinan gerabahnya. Tempat ini tepatnya terletak di daerah pedukuhan Kajen, desa Bangunjiwo, kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, (~ S 7.846567° - E 110.344468°) sekitar 6 km dari Alun-alun Utara Yogyakarta ke arah Selatan.

Kasongan mulanya merupakan tanah pesawahan milik penduduk desa di selatan Yogyakarta. Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia, di daerah pesawahan milik salah satu warga tersebut ditemukan seekor kuda yang mati. Kuda tersebut diperkirakan milik Reserse Belanda. Karena saat itu Masa Penjajahan Belanda, maka warga yang memiliki tanah tersebut takut dan segera melepaskan hak tanahnya yang kemudian tidak diakuinya lagi. Ketakutan serupa juga terjadi pada penduduk lain yang memiliki sawah di sekitarnya yang akhirnya juga melepaskan hak tanahnya. Karena banyaknya tanah yang bebas, maka penduduk desa lain segera mengakui tanah tersebut. Penduduk yang tidak memiliki tanah tersebut kemudian beralih profesi menjadi seorang pengrajin keramik yang mulanya hanya mengempal-ngempal tanah yang tidak pecah bila disatukan. Sebenarnya tanah tersebut hanya digunakan untuk mainan anak-anak dan perabot dapur saja. Namun, karena ketekunan dan tradisi yang turun temurun, Kasongan akhirnya menjadi Desa Wisata yang cukup terkenal.

Sejak tahun 1971-1972, Desa Wisata Kasongan mengalami kemajuan cukup pesat. Sapto Hudoyo (seorang seniman besar Yogyakarta) membantu mengembangkan Desa Wisata Kasongan dengan membina masyarakatnya yang sebagian besar pengrajin untuk memberikan berbagai sentuhan seni dan komersil bagi desain kerajinan gerabah sehingga gerabah yang dihasilkan tidak menimbulkan kesan yang membosankan dan monoton, namun dapat memberikan nilai seni dan nilai ekonomi yang tinggi. Keramik Kasongan dikomersilkan dalam skala besar oleh Sahid Keramik sekitar tahun 1980an.

Hasil kerajinan dari gerabah yang diproduksi oleh Kasongan pada umumnya berupa guci dengan berbagai motif (burung merak, naga, bunga mawar dan banyak lainnya), pot berbagai ukuran (dari yang kecil hingga seukuran bahu orang dewasa), souvenir, pigura, hiasan dinding, perabotan seperti meja dan kursi, dll. Namun kemudian produknya berkembang bervariasi meliputi bunga tiruan dari daun pisang, perabotan dari bambu, topeng-topengan dan masih banyak yang lainnya. Hasil kerajinan tersebut berkualitas bagus dan telah diekspor ke mancanegara seperti Eropa dan Amerika. Biasanya desa ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Wisata Rohani Vihara Buddha Prabha Jogja

Vihara ini terletak di jalan Brigjen Katamso, no.3 merupakan sebuah bangunan yang penuh dengan jejak sejarah karena berdiri sejak tanggal 15 Agustus 1900. Menurut catatan sejarah, Vihara Buddha Prabha didirikan di atas tanah hibah Kraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Tanah tersebut telah dihibahkan sejak tahun 1845 dan memang semenjak tahun itu, Kraton memperuntukannya sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tionghoa.

Pada mulanya, Vihara ini bernama Hok Tik Bio atau tempat pemujaan bagi HOk Tik Cing Sin, yaitu Dewa Bumi. Tetapi, walaupun begitu di tempat ini juga terdapat tempat pemujaan bagi penganut agama Buddha dan Konghucu. Dan ketika orde baru berkuasa, karena saat itu hanya lima agama yang diakui, maka namanya diganti menjadi Vihara Buddha Prabha.

kotajogja.com

Sunday, April 8, 2012

Wisata Candi Mendut


Candi Mendut

Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur.7°36′17.17″S 110°13′48.01″E
Masa pembuatan
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Arsitektur candi
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah.
Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.
Hiasan pada candi Mendut
Tiga arca di dalam candi Mendut, arca Dhyani Buddha Wairocana diapit Boddhisatwa Awalokiteswara dan Wajrapani.
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.
Hariti.
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka.
Buddha dalam posisi dharmacakramudra.
Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan arca Wajrapāņi.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...