Suasana sejuk pedesaan akan segera
menyapa setelah Anda sampai pada wilayah ini. Meski telah berkembang
sebagai desa kerajinan, suasana desa ini masih seperti desa pada
umumnya, tak banyak papan penunjuk seperti halnya di desa lain. Wilayah
ini dapat dijangkau dengan berjalan lurus ke selatan dari perempatan
terminal Giwangan dan kemudian mengambil lajur kanan menuju makam
Imogiri.
Desa Banyusumurup adalah
lokasi tempat dimana Anda dapat menikmati proses pembuatan beragam
aksesoris keris. Mulai dari pembuatan warangka atau sarung keris, sampai
pendok atau bagian tangkai keris yang berfungsi sebagai pegangan dapat
Anda saksikan di desa ini. Daerah yang sejak tahun 1950-an berkembang
menjadi sentra kerajinan aksesoris keris ini, dapat dijadikan salah satu
referensi berwisata jika berlibur ke Yogyakarta.
Jika
Anda bandingkan dengan desa-desa lain di daerah Yogya, para pengrajin
aksesoris keris Banyusumurup selalu memproduksi aksesoris yang baru
setiap harinya. Hal inilah yang membedakan dengan para pengrajin
aksesoris keris di desa-desa lainnya yang hanya bergantung pada pesanan.
Di desa ini para perajin dalam memproduksi aksesoris keris, masih dalam
skala rumahan belum berkembang menjadi sanggar atau merk khusus
aksesoris keris.
Neraca.co.id
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung
runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang
dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan
mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di
bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan
banyak di antaranya memiliki pamor (
damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik.

Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan,
sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini,
keris lebih merupakan benda aksesori (
ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang
pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara,
Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya,
Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao
dikenal sebagai
kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan
sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta
peristilahan. Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan
Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.
Makna Filosofi Keris
Dengan melihat begitu banyaknya ilmu tentang keris serta perdebatan
didalamnya, alangkah lebih sarat makna bagi kita dalam diri pribadi
masing-masing untuk selalu berupaya mempelajari makna sejarah, budaya
dan filosofi keris dengan tanpa memandang apakah keris tersebut sudah
aus, geripis ataukah masih utuh. Toh jika kita lihat, Kanjeng Kyai
Kopek, pusaka kraton Jogjakarta yang dulunya dipesan Sunan Kalijaga
kepada mPu Supo, pada bagian wadidhangnya sudah lubang dan tetap
disimpan sebagai salah satu Keris Pusaka andalan Keraton Jogja karena
memiliki muatan sejarah dan filosofi yang dalam dibandingkan sekedar
bentuk atau wujud fisiknya.
Dengan demikian, kebanggan atas sebilah keris tua yang masih utuh
bagi saya hanyalah kesenangan semu yang hampa jika tidak diikuti dengan
pemahaman terhadap sejarah dan filosofi keris.
“Pamor keris boleh
rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka keris
bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan
filosofi sebilah keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan
akan kita turunkan pada generasi selanjutnya”. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap sejarah dan kebudayaan masyarakat jaman dahulu
sangatlah memegang peranan penting dalam memahami tentang budaya
perkerisan.

Katakanlah mengapa konon Sultan Agung Hanyokrokusumo ketika awal masa
pemerintahannya sering memesan keris Luk 3 dapur Jangkung kepada Ki Nom
? Mengapa keris Luk 13 banyak dipesan ketika seorang Raja sudah lama
memerintah dan hendak lengser keprabon ? Mengapa keris tangguh Pengging
yang paling tinggi maknanya adalah yang ber Luk 9 ? Mengapa keris luk 1
dapur Pinarak selalu mengingatkan bahwa kehidupan kita di dunia ini
sesungguhnya hanya sementara untuk mampir duduk (pinarak) ? Kesemua itu
ternyata menunjukkan bahwa sesungguhnya keris memiliki makna yang lebih
dalam dan sangat kaya daripada sekedar masalah pamor, dapur dan tangguh
serta keutuhannya yang sampai sekarang masih terus menjadi perdebatan.
Tentunya dengan tidak mengesampingkan ilmu atas fisik keris seperti
dapur, pamor maupun tangguhnya.
Dengan menempatkan keris sebagai benda yang memiliki makna filosofi
mendalam, maka kita sebenarnya telah berusaha memahami apa keinginan
sang mPu dan orang yang memesannya dahulu ketika membabar keris
tersebut. Karena tentunya para mPu dan orang yang memesannya tersebut
sebenarnyna juga memiliki harapan-harapan yang tentunya bermaksud baik.
Dengan memahami makna filosofi dari sebuah keris tersebut, maka sudah
pasti kita turut “Nguri-uri”, melestarikan budaya keris karena salah
satu makna keris tersebut adalah sebagai simbol dari adanya suatu
harapan dan doa. Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam
bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang
bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi
keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau
Badik di Sulawesi.
Bagian-bagian keris
Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam,
sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau
bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai
kelengkapan lainnya, yaitu wrangka (sarung) dan bagian pegangan keris
atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut
keris.
* Pegangan keris
Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang
bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka,
patung penari, pertapa, hutan, dan ada yang diukir dengan kinatah emas
dan batu mulia. Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal
itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi
yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas
keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris
Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan
tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai,
Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan
perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun
berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling
banyak yaitu kayu. Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri
dari sirah wingking (kepala bagian belakang), jiling, cigir, cetek,
bathuk (kepala bagian depan), weteng dan bungkul.
* Wrangka atau Rangka
Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris
yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial
masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung
dilihat oleh umum. Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari
bahan kayu (jati, cendana, timoho, kemuning, dll), kemudian sesuai
dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai
pencerminan status sosial bagi penggunanya). Kemudian bagian atasnya
atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading. Secara garis besar
terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang terdiri
dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk
seperti daun), gandar, ri serta cangkring.
Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang
bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak
terdapat angkup, godong dan gandek. Aturan pemakaian bentuk wrangka ini
sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk
upacara resmi, misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya
(penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan
maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan
gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang
(termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja). Sedangkan
wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan
pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang
belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman,
pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka
gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya
lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan
bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk
panjang (sepanjang wilah keris) yang disebut gandar atau antupan, maka
fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat
dari kayu (dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan
logam campuran).
Karena fungsi ganda untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya
tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti
selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok (lapisan
selongsong) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam
kuningan, suasa (campuran tembaga emas), perak, emas. Untuk daerah
diluar Jawa (kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali)
pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti
sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian. Untuk
keris Jawa, menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok
bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok
blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya
sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan yang
belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari hiasannya,
pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa
ukiran).
* Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga
terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap
wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada
wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan
dapur jangkung mayang, jaka lola, pinarak, jamang murub, bungkul, kebo
tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yang
merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah
yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm
sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat
panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau
disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia
disebut punting.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris
disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di
tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi,
sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan
aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan
yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan
lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut
sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut
wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada
bermacam-macam, wilut, dungkul, kelap lintah dan sebit rontal.
Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat
dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang
lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara
sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah
ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi
seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah
banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan
tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak
adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih
dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak
lazim.
Makna dan Filosofi Keris Dalam Budaya Jawa
Keris dalam masyarakat Jawa, sekarang digunakan untuk pelengkap
busana Jawa, keris sendiri memiliki banyak filosofi yang masih erat
dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat Jawa. Makna filosofis yang
terkandung dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses
pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring
berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan
pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan
perkembangan jaman, keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan aji,
merupakan penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti
dihormati, jadi keris merupakan perwujudan yang berupa besi dan diyakini
bahwa kandungannya mempunyai makna yang harus dihormati, bukan berarti
harus disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan
warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi.
Bila kita merunut dari pembuatnya atau yang disebut empu, ini
mempunyai sejarah dan proses panjang dalam membuat atau menciptakan
suatu karya yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. Empu menciptakan
keris bukan untuk membunuh tetapi mempunyai tujuan lain yakni sebagai
piyandel atau pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa
percaya diri, ini dapat dilihat dari proses pembuatannya pada zaman
dahulu. Membuat keris adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan
sebuah keuletan, ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat
harus meminta petunjuk dari Tuhan melalui laku / berpuasa, tapa /
bersemadi dan sesaji untuk mendapatkan bahan baku.
Posisi keris sebagai pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari
proses menyimpan, membuka dari sarung sampai dengan merawatnya, hal ini
sudah merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan oleh
masyarakat Jawa yang masih meyakini. Kekuatan spiritual didalam keris
diyakini dapat menimbulkan satu perbawa atau sugesti kepada pemiliknya.
Menilik Pada masa kerajaan Majapahit, keris terbagi menjadi 2 kerangka
yang saat ini masih menjadi satu acuan si empu atau pembuat keris, yakni
rangka Gayaman dan rangka Ladrang/Branggah. Saat ini rangka Gayaman
banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Yogjakarta dan rangka
Ladrang banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Surakarta.
Nilai atau makna filosofis sebuah keris bisa pula dilihat dari bentuk
atau model keris, atau yang disebut dengan istilah dapur. Selain dari
dapurnya, makna-makna filosofi keris juga tecermin dari pamor atau motif
dari keris itu sendiri. Keris bukan lagi sebagai senjata, namun
masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya sebagai ageman atau
hanya dipakai sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai
spiritual religius, dan sebagai bukti manusia yang lahir, hidup dan
kembali bersatu kepada Tuhan sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.
Keris Sebagai Piyandel, Sebuah Tuntunan Hidup
Piyandel adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan yang
termanifestasikan dalam wujud berbagai benda-benda pusaka yang mengemuka
secara fenomenal, penuh daya pikat dan sarat lambang yang harus
didalami dan dimengerti dengan baik, benar dan mendalam. Kepercayaan
bukan berisi tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi
sebuah wahana yang berwujud (wadag) yang berisi doa, harapan dan
tuntunan hidup (filosofi hidup) manusia jawa yang termaktub dalam
“sangkan parang dumadi – sangkan paraning pambudi – manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling ini terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut keris atau tombak.
Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan
pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan
pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan. Jadi
tergantung kepada “kadhewasaning Jiwa Jawi” – kedewasaan orang dalam
berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya
pengalaman rohani – semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang
tertera di dalam sebilah keris.
Pada mulanya, di saat manusia jawa ada pada peradaban berburu, keris
adalah alat berburu (baca: mencari hidup). Kemudian ketika manusia mulai
menetap dan bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi alat untuk
berperang (baca : mempertahankan hidup). Lebih lanjut lagi setelah tidak
lagi diperlukan perang dan manusia mulai berbudaya, keris pun menjadi
senjata kehidupan (baca: tuntunan hidup). Yaitu senjata untuk mengasah
diri menjadi orang yang lebih beradab dan berperiperadaban hingga
mencapai penyatuan diri dengan Penciptanya. Hal ini sangat nyata
ditunjukkan dalam lambang-lambang yang mengemukan pada ricikan-ricikan
keris.
Ilmu keris adalah ilmu lambang. Mengerti dan memahami bahasa lambang
mengandalkan peradaban rasa (sense) – bukan melulu kemampuan
intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami keris secara dangkal
sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang
dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup
secara benar, baik dan seimbang. Dan bagi orang jawa, hidup ini penuh
pralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari dan diketemukan
melalui berbagai laku, tirakat maupun dalam berbagai aktivitas
sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk makanan (tumpeng,
jenang, jajan pasar, dsb), baju beskap, surjan, bentuk bangunan (joglo,
limas an, dsb) termasuk juga keris. Di dalam benda-benda sehari-hari
tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta
wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali
bersatu dengan Sang Pencipta.
Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah pemahaman “Bapa (wong tuwa)
tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng
kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur”. Jika orang tua berlaku
tirakat maka hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri dan
anak-anaknya melainkan hingga semua keturunannya. Demikian juga
sebaliknya. Oleh karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup
prihatin, hidup “eling lan waspada”, hidup penuh laku dan berharap.
Siratan-siratan laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus
tuntunan itu diwujudkan oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah
senjata.
Senjata bukan dilihat sebagai melulu wadag senjata (tosan aji)
melainkan dengan pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan
kehidupan adalah sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah
hidup batin. Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan
Piyandel – sipat kandel, karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita
dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat
oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji
kebesaran Tuhan.
“Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama”. Tekadku
menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas (positive
thinking), berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya,
sembari menjalankan laku keutamaan.
Meski demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak
terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para
leluhur tentang hal ini berbunyi : “Janjine dudu jimat kemat, ananging
agunging Gusti kang pinuji”. Janji bukan jimat melainkan keagungan
Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. “Nora kepengin misuwur karana peparinge
leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur”. Tidak ingin
terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur
karena melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu keris bukan
jimat, tetapi lebih sebagai piyandel sebagai sarana berbuat kebajikan
dan memuji keagungan Ilahi