Desa Gendeng (huruf “e” dibaca seperti tulisan “semen”)
terletak di Kalurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul,
Yogyakarta.
Sejarah kerajinan wayang kulit Gendeng disinyalir berawal
sekira pada 1926. Saat itu seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta bernama M.B.
Perwitowiguno (Pak Bundhu), ia juga ahli membuat wayang kulit. Pak Bundhu tidak
tinggal lama, ia pindah ke kota beserta muridnya, Pudjowinoto. Pada 1942,
Pudjowinoto kembali ke Gendeng, menetap, kemudian menjadi perajin dan dalang.
Keahliannya disebarluaskan, semula terbatas kepada sanak saudara dan warga
sekitar.
Di masa jayanya, Gendeng sempat menjadi barometer kualitas wayang
kulit gaya Yogyakarta. Produknya dikenal halus dan estetis. Dusun ini pernah
mendapat penghargaan Upakarti dari pemerintah pada 1990. Antara 1976 hingga
1995 jumlah perajin tatah sungging desa melonjak drastis. Dusun ini pun menjadi
tujuan wisata, banyak turis mancanegara berkunjung dan memborong wayang kulit.
Isu terorisme merebak pada 2002 di Indonesia, Gendeng pun
terkena imbas. Sejak itu, turis jarang berkunjung. Rata-rata tiap sanggar hanya
memproduksi 30 wayang setiap bulan, sebagian berdasarkan pesanan. Produktivitas
jauh menurun dibanding era 1980-an, saat itu ratusan wayang dibuat tiap
bulannya. Alhasil banyak perajin gulung tikar. Hal tersebut tidak adanya minat
generasi muda terhadap budaya tradisional.
Kini perajin di dusun Gendeng mulai aktif kembali, sekira 40
perajin dan sepuluh sanggar intens berproduksi. Para perajin juga membuka
showroom untuk menjual souvenir. Meskipun begitu, proses pembuatan wayang
tradisional masih dipertahankan, mulai dari pola, penatahan, hingga pewarnaan.
Sumber:
Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2000
http://cessee.com
No comments:
Post a Comment