PANTAI TRISIK, JOGJA: POTENSI KONSERVASI PENYU
Kompasiana.com
KONSERVASI PENYU
Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo
merupakan daerah pesisir yang berbatasan
langsung dengan samudera Hindia. Desa Banaran memiliki pantai yang bernama
Pantai Trisik. Di Pantai Trisik inilah setiap tahunnya penyu hijau singgah
untuk bertelur. Penyu hijau (Chelonian mydas) merupakan hewan melata langka
yang hidup di laut (daerah pesisir) dan pada musim-musim tertentu singgah ke
pantai untuk berkembang biak. Hewan ini terancam punah dan sekarang
keberadaannya dilindungi oleh undang-undang. Penyu di pantai Trisik biasanya
bertelur antara bulan Mei sampai Agustus dan waktu pelepasan anakan penyu
(tukik) berkisar antara bulan Juli sampai November. Induk penyu biasanya
bertelur di darat dengan jarak ±50m dari bibir pantai pada malam hari atau pagi
hari di lokasi yang jauh dari pemukiman atau keramaian. Penduduk dapat mencari
telur penyu melalui jejak yang ditinggalkan induk penyu di pasir. Telur penyu
ini akan di tanam di pasir, dengan kedalaman ± 0.5m-1m dibawah permukaan tanah.
Telur penyu memiliki nilai gizi tinggi dan enak dimakan. Hal
ini menyebabkan telur penyu banyak diburu untuk kemudian dijual. Di beberapa
provinsi telur penyu diambil oleh penduduk
kemudian dijual kepenampung, setelah itu penampung akan menjual ke
pemesan diluar negeri. Tiap butir telur penyu dihargai Rp. 1.500-Rp.2.000
perbutir (kompas, 29 Sept 09).
Namun, di Desa Banaran telah muncul kesadaran untuk
melestarikan penyu hijau. Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya Kelompok
Konservasi Penyu Abadi yang merupakan perkumpulan yang didirikan secara swadaya
oleh penduduk setempat. Motivasi pendirian kelompok ini, menurut ketua Kelompok
Konservasi Penyu Abadi benar-benar muncul dari kesadaran akan pentingnya
pelestarian penyu. Seperti diungkapkan pak Joko Samudro saat ditemui tim EDM*
Teknik Lingkungan UPN”V”YK, Minggu, 15 November 2009 : “Dimana-mana penyu itu
diburu dan hampir punah, mungkin suatu saat nanti anak-anak kecil hanya melihat
penyu melalui televisi saja” ujarnya.
Sejak berdirinya pada tahun 2004 sampai tahun 2009 kelompok konservasi ini
telah melepaskan anakan penyu sebanyak 4341 ekor dengan perincian 89 ekor pada
tahun 2004. 458 ekor pada tahun 2005, 604 ekor pada tahun 2006, 677 ekor pada
tahun 2007, 1.184 ekor pada tahun 2008, 1.326 ekor pada tahun 2009. Menurut pak
Joko Samudro, sekarang nelayan-nelayan di Pantai Trisik jika mendapatkan induk
penyu dalam tangkapannya, mereka akan segera mengembalikan lagi induk penyu tersebut
ke laut lepas. Jika menemukan telur penyu, penduduk setempat akan segera
melapor ke kelompok konservasi.
Ditinjau dari sisi non-ekonomis, kesuksesan konservasi
bergantung pada suhu saat penetasan, tempat penetasan dan pemeliharaan,
sirkulasi air saat pemeliharaan dan asupan gizi bagi anakan penyu (tukik).
Kesadaran akan pelestarian penyu dari Kelompok Konservasi
Penyu Abadi ini tidak didukung penuh oleh pihak luar, terutama Pemerintah
Kabupaten Kulonprogo dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri. Hal ini
terlihat dari keadaan tempat konservasi yang sangat memprihatinkan dan
minim-nya dukungan dana dari pemerintah (untuk pengadaan sarana penangkaran
penyu dan membeli telur penyu dari penduduk) setempat.
tukik hasil penangkaran kelompok penyu abadi ini sedang
dalam adaptasi ke air tawar. salah satunya terserang penyakit jamur.
tukik hasil penangkaran kelompok penyu abadi ini sedang
dalam adaptasi ke air tawar. salah satunya terserang penyakit jamur.
Kurangnya dukungan dana ini terungkap dari penuturan pak
Joko Samudro ketika ditanya mengenai kendala-kendala yang dihadapi kelompok
konservasi. “Selama ini telur penyu masih kami beli dari masyarakat sini
seharga 1.500-2000-an Rupiah perbutirnya. Sebenarnya kami punya rencana untuk
membuat tempat penetasan dan pemeliharaan anakan penyu (tukik). Setelah saya
hitung-hitung biaya yang diperlukan sekitar 20-an juta rupiah, namun sekarang
masih terkendala dana” ujar beliau.
Kendala-kendala lain yang dihadapi kelompok konservasi
adalah penyakit yang sering menyerang anakan penyu (tukik). Penyakit yang biasa
menyerang adalah jamur yang menyebabkan anakan penyu (tukik) menjadi susah
bergerak dan menjadi lemas, sehingga jika dibiarkan semakin lama anakan penyu
(tukik) akan mati.
Penyakit jamur ini terlihat berupa bercak putih pada
cangkang tukik. sejauh ini kelompok knservasi belum mampu mengobati penyu yang
terserang penyait jamur. Dari data pelepasan tukik tanggal 26 agustus 2009
dapat diketahui, dari 73 butir telur yang menetas dan dipelihara sampai siap dilepas,
67 ekor diantaranya mati karena penyakit jamur. Penyakit jamur ini disebabkan
oleh sirkulasi air di tempat pemeliharaan tukik yang kurang ancer. Selama ini
kelompok konservasi belum memiliki alat peyedot air laut untuk mengganti air di
tempat pemeliharaan,i pergantian (sirkulasi) air masih dilakukan secara manual.
Ember tempat pemeliharaan yang selama ini digunakan pun terlihat sangat kurang
memadai. Harapan untuk kedepannya, pemerintah maupun swasta dapat memberikan
dukungan dana dan perhatian yang cukup untuk pelestarian penyu tersebut, karena
pelestarian penyu ini adalah tanggung jawab bersama.
No comments:
Post a Comment